Sebelum terlalu jauh membahas, kita bertanya dulu: Apa itu pulsa? Apakah pulsa itu produk atau jasa? Pulsa secara kasat mata tidak dapat dilihat, karena bukan produk kasat mata, atau istilah pemasarannya produk intangible. Pulsa lebih tepat digolongkan sebagai jasa. Jika didefinisikan, maka pulsa berarti "Nilai tukar yang dimiliki oleh konsumen untuk dapat menggunakan jasa telekomunikasi, seperti jasa telepon, SMS, maupun data." Nilai tukar awalnya berbentuk uang lalu dibelikan voucher dan terwujudlah Pulsa dalam nominal setara dengan uang.
Pulsa berlaku pada layanan prabayar. Untuk pascabayar namanya bukan lagi pulsa, tetapi pembayaran atas tarif telekomunikasi yang digunakan. Karena pulsa umumnya berlaku untuk pra-bayar, maka mayoritas korban dari pencurian pulsa adalah konsumen prabayar. Untuk konsumen pascabayar jarang ditemukan pulsanya disedot. Mungkin ada dalam bentuk lain, tetapi yang marak terjadi adalah pada konsumen prabayar.
Nah, karena pulsa itu sifatnya abstrak, maka keberadaannya sudah terkonversi menjadi wujud ide. Di sinilah masalah terjadi. Ketika suatu keberadaan telah menjadi abstrak maka kemungkinan kejahatan akan semakin besar. Dan umumnya kejahatannya tidak dapat dilihat tetapi dampaknya nyata. Contoh kejahatan yang setara dengan ini dapat dijumpai pada nilai uang yang diabstrakkan dalam bentuk lain, misalnya saham, produk derivatif, software komputer, dan lainnya. Saham dan produk derivatif awalnya produk tetapi sifatnya abstrak sehingga permainan tidak lagi melibatkan fisik melainkan kejahatan otak. Siapa yang paling pintar maka akan mendominasi lawan.
Pulsa sebagai produk yang telah menjelma sebagai nilai kapital abstrak menjadi rebutan. Bayangkan saja, berarti di alam abstrak sana, di angkasa sana, ada trilyunan rupiah melayang-layang. Jumlah pengguna aktif di Indonesia untuk produk telekomunikasi adalah 240 juta pengguna. Penetrasi pasarnya sudah 100% lebih terhadap jumlah penduduk Indonesia. Jika 1 pengguna memiliki pulsa di handphonenya dalam 1 bulan rata-rata sebesar 50 ribu, maka di angkasa sana ada uang yang melayang-layang sejumlah 12 trilyun. Angka yang sangat fantastis. Maka berlomba-lombalah orang untuk mendapatkan uang abstrak itu. Muncullah penjahat-penjahat yang mengatasnamakan Content Provider. Penjahat tipe ini adalah bukan penjahat bodoh, karena harus melek teknologi. Operasinya senyap tetapi pasti. Lalu gegerlah kasus pencurian pulsa dari akibat operasi senyap itu.
Pencuri pulsa jika dalam dunia komputer sama dengan virus. Ia siap menyerang penggunanya kapan saja ketika ada media yang memungkinnya untuk beraksi. Ketika ada kesempatan masuk, maka virus itu akan menjangkiti korban. Virus komputer dan pencuri pulsa lewat SMS operasinya sama namun berbeda modusnya.
Untuk mengatasi kasus pencurian pulsa ini tidak bisa didekati dengan serampangan gaya preman. Harus dengan cara pintar juga. Diperlukan aturan yang definitif dan bersifat imperatif dari para pemegang kebijakan. BRTI harus membuat aturan yang cerdas untuk membatasi gerak penjahat senyap tersebut. Operator sebagai induk atau inang dari CP harus memberikan rambu-rambu yang pasti dalam perjanjian kerjasamanya. Jangan sampai ada celah untuk dimanfaatkan. Karena, sekali lagi, kejahatan pencurian pulsa ini adalah kejahatan yang butuh kecerdasan ekstra.
Selain peraturan, konsumen pun harus cerdas. Penjahat yang cerdas sementara konsumen sembrono maka akan menjadi korban empuk. Jangan tergiur oleh berbagai macam tawaran melalui SMS-SMS yang gencar dikirim oleh para CP. Tidak asal klik layanan otomatis seperti fasilitas pop screen atau sejenisnya. Jika anak-anak memiliki handphone berikan penjelasan pada mereka untuk tidak asal tekan, apalagi menjawab pesan-pesan dari iklan yang mencurigakan.
0 komentar:
Posting Komentar